Motivation Letter

From    : Me

To        : You @everyone

 

Beberapa cerita dari saya untuk kamu yang sedang merasa berada di titik terendah,

Perjalanan saya dalam menemukan artinya “bersyukur” dan “bahagia.”

 

Beberapa tahun silam, tepatnya 2014 saya baru memasuki bangku SMP. Saya bertemu teman-teman baru. Di sana saya menjadi pribadi yang lebih membuka diri untuk menambah teman baru. Saya memiliki beberapa teman dekat. Mulai dari sering belajar bersama, membolos bersama, main, dan hal lain yang sewajarnya anak SMP lakukan. Seru memang, dan saya selalu mengingat itu hingga sekarang. Tapi, tidak baik juga jika terlalu dekat dengan seseorang yang bahkan baru kamu kenal selama sekitar setahun. Di sini masalah mulai bermunculan.

Karena memiliki banyak teman, saya malah jadi salah kaprah, saya jadi manja dan bertingkah kekanan-kanakan. Hampir setiap hari kerjaan saya hanya menangis hingga histeris, saya merasa saat itu saya sampai depresi, tapi ntahlah, memang berlebihan sekali. Saya menjadi seorang yang egois, mau menang sendiri, suka memerintah, tidak mau mendengarkan orang lain tapi selalu mau didengarkan, sering mengeluh tanpa melakukan pemecahan masalah, selalu menyalahkan dan menyudutkan masalah kepada orang lain, tidak mampu bertoleransi, suka menilai buruk orang lain. Kemanapun saya berada, harus selalu dikelilingi teman-teman. Ntah mereka ikhlas atau tidak. Yang pasti, saya berubah menjadi “iblis” yang terjerat dalam tubuh manusia. Hingga akhirnya saya lulus SMP dan masuk SMA.

Perlahan saya mulai menyadari kalau saya perlu merubah sikap saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan dicintai teman-teman dan lingkungan sekitar apa adanya. Saya mulai bercermin dan berbenah diri menjadi seseorang yang lebih ikhlas, sabar dalam berbagai hal. Banyak pelajaran yang saya dapat dari pengalaman ketika saya di SMA. Saat saya harus mandiri karena berbeda sekolah dengan beberapa sahabat saya di SMP. Banyak juga yang satu sekolah, tapi berbeda kelas.

Di SMA, saya lebih mengenal sifat dari seseorang, bagaimana harus menghadapinya baik dari dalam ataupun luar diri saya. Saya mulai merasa mental breakdown, merasa sendiri karena banyak teman-teman SMP yang sibuk dengan kegiatannya di SMA dan atau kelasnya masing-masing. Banyak tugas yang mulai berdatangan, dan saya paling benci ketika ada tugas kelompok. Kenapa? Karena hanya saya yang bekerja, teman kelompok tidak ada yang berkontibusi ingin membantu.

Saya mulai menangis diam-diam agar orang tua tidak tahu—yang pada akhirnya ketahuan karena naluri seorang Ibu. Saya semakin mahir berpura-pura kalau saya sedang baik-baik saja. Saya tidak pernah bercerita ke siapa pun tentang hal yang saya alami, bahkan teman dekat saya sewaktu SMP dulu heran akan perubahan sikap saya yang hampir drastis ini. Saya pikir hanya akan membebani orang lain saja jika berbagi cerita, sudah cukup saya membebani orang-orang dengan sejumlah drama yang terjadi di SMP dulu.

Saya sudah mulai berubah dari yang sebelumnya. Saya mulai memiliki rasa simpati ke pada orang lain, sedikit lebih perhatian, mulai mendengarkan keluh kesah orang lain lalu baru mengutarakan keluh kesah saya, belajar mengalah, banyak yang saya pelajari.

Saat naik kelas, saya mendapat banyak sekali bentuk bullying—kecuali fisik—oleh teman-teman sekelas karena kejujuran saya—membocorkan teman saya yang membolos KBM ke pada guru saya—yang menurut saya itu salah satu tindakan yang benar. Di situ saya merasa berada di titik terendah saya, saya mulai membolos sekolah dengan berbagai macam alasan ke pada orang tua. Saya memiliki jadwal membolos tetap, yaitu hari Rabu dan Jumat. Kalau ditanya orang tua, “Kenapa tidak sekolah?” pasti jawaban saya selalu, “Pelajarannya tidak terlalu penting, semalam juga sudah belajar di rumah.” Hahaha.

Sering juga ke toilet di saat pergantian jam pelajaran, hanya untuk menangis sebentar. Hingga pergi kemanapun saya pergi pasti saya sendirian, tidak ada yang ingin menemani saya. Sahabat atau teman dekat? Sahabat yang saya punya—sahabat sejak SMP—berbeda kelas. Saat di kelas, saya masih memiliki teman namun tidak begitu dekat. Bagaimana caranya saya dapat survive di “penjara” itu selama setahun? Sabar, sabar, dan jalani saja. Percaya kalau bahagia akan datang, ntah kapan waktunya. Kebahagiaan yang saya miliki saat itu hanya ketika di rumah bersama orang tua, teman-teman di tempat les, dan saat berkumpul bersama teman-teman SMP. Beruntungnya saya masih memiliki mereka.

Ya begitulah hidup, kadang bisa di atas, kadang pula di bawah. Saya mulai merasakan karma dari sikap saya yang terdahulu. Pada awalnya sulit untuk menerimanya, tapi lambat laun saya berpikir, kalau karmanya tidak datang sekarang, mungkin saya akan tetap menjadi seseorang  yang sama seperti di masa lalu.

Memasuki tingkat akhir di SMA, saya sangat senang karena bisa sekelas dengan 2 orang sahabat saya. Hingga perlahan-lahan kami mulai terbuka dan membangun persahabatan dengan yang lain, sekarang sudah setahun berjalan. Hubungan percintaan saya juga berjalan baik. Saya juga mulai menjalin hubungan dengan orang-orang yang dahulu pernah saya tinggalkan dan lupakan. Saya mulai merasakan empati, care, dan hal baik lainnya yang saya rasa belum pernah saya lakukan dahulu.

Saya sangat bersyukur dipertemukan orang-orang baik yang sangat berarti di hidup saya saat di tingkat terakhir SMA. Hingga saya lupa beralasan untuk membolos kepada orang tua dan menangis di toilet saat pergantian KBM. Tak ada kata yang lebih baik untuk menggambarkan, “Saya amat sangat bahagia dan bersyukur,” karena memiliki mereka.

Pesan saya, jangan pernah merasa kalau kamu sedang berjuang sendirian dan menganggap kamu lemah. Kamu tidak sendiri, masih banyak yang butuh akan kehadiranmu di hidup mereka, ntah sekarang atau nanti. Kamu tidak tahu kapan. Kamu harus kuat, kamu hebat karena sudah berjuang hingga sampai di titik ini. Apapun yang sedang terjadi hari ini, percayalah kalau rencana Tuhan lebih baik dari apa yang kamu perkirakan.

Kebahagiaan itu tidak dicari, tidak juga diciptakan, cukup bersyukur, bersyukur, dan bersyukur sudah akan membuatmu bahagia. Menurut buku yang saya baca, ketika seseorang bersyukur, kita menjadi sosok yang lebih positif, toleran, dan murah hati.

Dan ingat, hanya kamu yang bisa memotivasi dirimu sendiri. Bukan orang lain. Percaya pada kemampuanmu, jangan pernah dengarkan orang lain yang hanya akan menjatuhkanmu.

 

Salah satu kutipan dari drama Korea favorit saya,

The law of the total number of misfortunes. I heard we all had sets of misfortune assigned to is. If their lives have been filled with misfortune up till now, it means only happiness awaits them. – Nam Ju Ri from It’s Okay to Not Be Okay.

Comments